Bagaimana Memotivasi Belajar Pada Anak - Na-Ra »»Blog Nabila Rahma ««

Breaking

BANNER 728X90

19 November 2011

Bagaimana Memotivasi Belajar Pada Anak


Studi Kasus

Bapak Psikolog yang terhormat. Anak kami, ketika duduk di bangku kelas satu hingga tiga Sekolah Dasar, ia telah berhasil mempetahankan predikat sebagai murid berprestasi “number one” di kelasnya. Ketika itu, dia sangat rajin belajar. Bahkan tanpa diperintah orang tua, anak kami senantiasa berdisiplin diri untuk belajar. Hanya saja ketika ia duduk di kelas empat mengalami penurunan motivasi belajarnya hingga nilai di ranking kelasnya menjadi menurun beberapa digit dari temanya. Melihat kenyataan tersebut bagaimana caranya agar anak kami kembali bersemangat dalam belajarnya.

Solusi

Ibu yang terhormat. Sebelumnya kami mengucapkan terima kasih atas kebersamaannya dengan Lembaga Bantuan Psikologi Islam Indonesia. Kami mencoba membantunya, namun tentu saja hanya berdasarkan fakta yang  ibu sampaikan. Selanjutnya, dari apa yang dialami oleh anak ibu maka pertama-tama kami bisa sampaikan adalah bahwa anak ibu sebenarnya memiliki kelebihan baik dari sisi kecerdasan ataupun motivasi belajar yang terbentuk dari dalam diri sendiri. Tentu hal ini sebuah keistimewaan. Sebab dalam pengalaman bahwa pada umumnya anak mau belajar lebih didominasi oleh motivator eksternal, sehingga banyak orang tua yang merasa capek untuk mendorong anaknya belajar. Seakan yang sekolah adalah orang tuanya, bukan anaknya.

Aspek Penyebab

Terhadap penurunan motivasi belajar anak, tentu saja banyak sekali faktor penyebabnya. Disinilah peran orang tua dan lingkungan untuk meneliti kiranya faktor apa saja yang sedang melanda anaknya sehingga mengalami persoalan tersebut. Setelah ditemukan faktor penyebab maka segera ditetapkan solusinya. Berikut ini, ada beberapa hal yang dapat menyebabkan penurunan motivasi belajar anak antara lain sebagai berikut.

Pertama, penurunan sikap lingkungan rumah terhadap diri anak. Bisa jadi dalam hal ini disebabkan oleh dinamika keluarga yang semakin tidak kondusif dalam perkembangan psikis anak. Misalnya, interaksi kedua orang tua yang kurang harmonis, kesibukan orang tua sehingga perhatian terhadap anak semakin terkurangi. Atau, bisa jadi adanya kedatangan saudara baru dan lingkungan baru sehingga menjadikan anak tidak nyaman bahkan terlalaikan. Jadi, aspek lingkungan keluarga secara umum dapat berpotensi sebagai pencetus problematika motivasi belajar anak. Disamping itu juga, bisa jadi semangat belajar anak menurun disebabkan oleh rasa frustrasi anak disebabkan keinginan sarana belajar dan sejumlah keinginanya yang tidak dipenuhi oleh orang tua. Dalam konteks ini dimohon agar orang tua mencari penyebab internal keluarga yang lebih mendalam.

Kedua, kondisi lingkungan sekolah yang berubah tidak kondusif. Dalam hal ini bisa jadi anak mengalami kemalasan disebabkan trauma atas perlakuan guru semisal melecehkan, menghinakan, memukul, mencubit, menfitnah dan sebagainya yang semuanya dapat menjadi penyebab anak semakin malas dalam belajar. Dalam hal ini, kami pribadi memiliki pengalaman pahit ketika di kelas lima Sekolah Dasar, dimana ketika setiap pertanyaan guru yang harus dijawab secara tepat dan tepat. Kami memang mampu menjawab setiap pertanyaan, termasuk jika pertanyaan (pengetahuan umum) belum selesai kami sudah mampu menjawabnya. Ternyata kami difitnah oleh bu guru bahwa kami “ngerpek-curang, nyontek melihat catatan”. Padahal kami sungguh bisa karena belajar keras. Dampaknya, kami malas belajar atas pelajaran guru tersebut. Wong murid disuruh belajar, pada saat bisa menjawab dengan cepat dan tepat kok malah dituduh negative! Atas kasus tersebut hingga sampai usia tua ini kami masih tidak bisa menghapusnya!

Teman di lingkungan sekolah bisa jadi sebagai penyebab anak turun semangat belajarnya. Antara lain misalnya, teman yang nakal dan jahat yang suka menjahili, meledek bahkan mengancam dan memukul. Atau juga teman yang ketergantungan untuk senantiasa mencontek atas tugas pelajaran dan jawaban soal ulangan. Semuanya bisa juga menyebabkan anak menjadi malas belajar. Bisa juga ada unsur ketidak adilan dari guru terhadap murid muridnya. Misalnya, perlakuan terhadap murid yang kebetulan anaknya pejabat, anaknya sesama guru, anaknya kaum kaya, yang semuanya dibedakan dengan murid-murid dari latar belakang wali murid petani nan miskin, pemulung, dst. jadi hubungan interaksional di lingkungan sekolah bisa juga sebagai  penyebab penurunan kadar motivasi belajarnya.

Ketiga, kualitas kurikulum pendidikan juga bisa ditengarai sebagai penyebab menurunya motivasi belajar. Terlebih lagi dewasa ini kurikulum pendidikan Indonesia termasuk untuk tingkat Sekolah Dasar demikian kompleks. Disamping secara kualitas materi pelajaran yang demikian sudah sulit untuk level umur tertentu juga secara kuantitatif memang demikian banyaknya. Dalam hal ini kita mudah untuk membuktikan antara lain semakin menjamurnya lembaga bimbingan belajar di luar jam sekolah, juga sudah menjadi “rahasia umum” bahwa saat Ujian Nasional terjadi kecurangan yang menjawabkan soal adalah para oknum guru yang bekerja secara sistematis.

Bahkan banyak pengamat pendidikan mengatakan bahwa kurikulum pendidikan saat ini tidak ubahnya sebagai racun untuk anak-anak. Dimana anak-anak dijejali dengan kurikulum yang secara kompetensi belum memungkinkan baik secara kualitas maupun kuantitas pelajaran. Oleh karena itu, bisa jadi menurunya motivasi belajar anak disebabkan oleh bobot dan sistem kurikulum yang tidak matching dengan kompetensi anak yang bersangkutan. Hal ini akan diperparah lagi jika ditambah oleh variable lainya yakni kemungkinan tingkat intelijensi anak yang akhirnya kesulitan mengikuti pelajaran berat sehingga motivasinya semakin down.

Upaya Memotivasi

Berdasarkan analisis sejumlah kemungkinan pencetus dan penyebab anak mengalami penurunan semangat belajarnya di atas maka berikut ini beberapa alternative yang disarankan untuk dilakukan. Pertama, upaya yang melibatkan perubahan interaksional dalam lingkungan rumah tangga. Dalam hal ini, orang tua berkewajiban untuk mengevaluasi dan merubah kondisi menuju sebuah tatanan keluarga yang harmonis, sakinah, mawaddah wa rahmah. Jika orang tua dan keluarga harmonis maka sungguh akan berdampak terhadap ketenangan, stabilitas dan semangat belajar anak yang prima. Sebaliknya, jika kapal rumah tangga dalam keadaan retak dan akan pecah maka psikis anakpun juga akan terkena dampak.

Demikian halnya, jika ditemukan sumber problema adalah perihal tuntutan sarana belajar maka mohon agar segera dilengkapinya. Misalnya meja dan kursi belajar, tas, buku dan alat tulis. Sebab dengan dipenuhinya peralatan dan bahan belajar maka akan memudahkan anak dalam melakukan belajar. Bahkan hal tersebut akan memacu anak untuk belajar lebih rajin. Dengan cara demikian, tidak ada alasan lagi bagi anak untuk tidak mau beajar.

Selanjutnya, jika selama ini ternyata lingkungan berbuat cuek pada anak, maka berikan perhatian dan pujian secara cukup. Dalam hal ini orang tua dianjurkan untuk memberikan suasana psikis yang nyaman, sesekali diajak bermain, rekreasi dan sebagainya. Sehingga kesadaran dan motivasi belajar mereka semakin bangkit. Terlebih lagi jika anak telah berbuat sesuatu yang prestatif maka berikanlah reward berupa pujian, acungan jempol juara, dan bentuk dukungan semangat lainya.Tindakan orang tua semacam ini pada umumnya berdampak positif terhadap perkembangan motivasi belajar anak. Konsep diri anak akan semakin berkembang bahwa dirinya adalah anak yang memang mampu berbuat sesuatu yang prestatif.

Seandainya anak tersebut masih tetap malas belajar maka orang tua disarankan tetap dapat menahan diri dengan harus tetap bersikap bijaksana. Dalam arti menjelaskan kepada anak antara lain tentang kewajiban belajar dan mencontohkan antara anak yang pandai dan tidak pandai dengan nasehat dan  pemahaman sehingga anak akan mengerti dan mau berbuat. Lain halnya ketika anak sedang malas belajar yang kemudian orang tua memaki-maki, memukul, mempermalukan anak  dihadapan orang lain, maka hal ini justru akan menjatuhkan motivasi belajarnya. Sebab pemberian hukuman yang tidak setimpal dan hukuman secara fisik, secara fakta ataupun hasil penelitian justru berdampak buruk dalam perkembangan anak.

Jika diperlukan, yakinkan pada anak bahwa belajar merupakan perkara yang sangat mudah dan menyenangkan. Dalam hal ini diharapkan orang tua memberikan aneka bukti yang kongrit. Jika anak mengalami kesulitan maka sampaikan saja bahwa “tanyakan  pada gurumu jika mengalami kesulitan”. Dan, jangan malu bertanya, sebab jika malu bertanya maka akan sesat di kelas. Hal ini akan mensugesti pada anak untuk “seide seiya sekata” bahwa sekolah dan belajar memang mudah, menyenangkan dan mengasyikan.

Misalnya, jika seorang anak mengalami kesulitan belajar matematika maka yakinkan bahwa hitung menghitung adalah perkara yang simple, kecil dan mudah. Misalnya, anak diajak menghitung “angka seribu ditambah seribu yang berarti dua ribu”; Uang lima ribu rupiah dibelikan mi baso seharga lima rubu rupiah maka sisa uang nol. Dengan contoh yang sederhana dan faktual tersebut (sesuai kompetensinya) maka akan membentuk kesan bahwa belajar matematika adalah perkara yang sangat mudah, dan kenyataanya semua bisa dihitung.

Lain halnya jika orang tua senantisa menggambarkan bahwa belajar adalah susah, berat, capek, biaya mahal, dst maka justru akan menjatuhkan motivasi anak untuk belajar menuju ketidak berdayaan. Anak akan semakin stress bahkan dipresi.

Akhirnya, orang tua diharapkan senantiasa memberikan bimbingan secara baik dan bijaksana. Dalam hal ini orang tua berperan sebagai fasilitator. Dalam arti orang tua senatiasa menfasilitasi dengan memberikan bimbingan dan arahan (guidance and counseling) secara menyenangkan. Orang tua adalah kawan dan perndamping anak belajar dalam rumah. Orang tua berperan dalam memecahkan segala permasalahan (problem solving) belajar anak.

Kemudian, jika menurunya motivasi belajar anak disebabkan lingkungan sekolah yang tidak kondusif dan bobot pelajaran yang dinilai memberatkan anak, maka orang tua semakin dituntut peran pentingnya. Yakni, disarankan orang tua semakin mendekat dengan pihak sekolah termasuk guru kelas dan guru Bimbingan dan Konseling (BK) untuk mencari solusi yang tepat dan terbaik. Sebab yang mengetahui tentang sistem pendidikan dan pengajaran beserta kurikulumnya adalah pihak sekolah, sementara yang mengetahui lebih jauh terhadap pribadi si anak adalah orang tua. Oleh karena itu, dalam konteks ini kerjasama yang kuat antara orang tua dan pihak sekolah merupakan persyaratan pokok dalam menyelesaikan problematika motivasi belajar anak. Insya Allah.
(Sumber http://www.psikologi-islam.com/detail-konsultasi-10-bagaimana-memotivasi-belajar-pada-anak.html)

No comments:

Post a Comment

Silahkan isi kolom komentar Anda dibawah